-->
RAMADHAN DAN AIRMATA TERAKHIR
Oleh: Yusuf Jamhur
Matahari 1 syawal semakin meninggi, namun gema takbir masih saja tedengar dari setiap surau, mushala dan mesjid. Sementara kakiku semakin dalam menginjak pedal gas.
“ Kita akan kemana pak?” Tanya anakku sambil berusaha memakai seat belt.
“ Kita akan ke tempat nenek” jawabku. Sampai di tempat tujuan , semua keluargaku sudah berkumpul , termasuk istriku yang sudah berangkat lebih dulu.
“Darimana aja sih pak, kok lama sekali?” Tanya istriku.
Sebuah acara ritual rutin setahun sekali yang biasa di lakukan keluarga besarku akhirnya di mulai. Aku duduk bersila di samping bapakku, yang sedang membacakan doa, ayat suci dan mungkin juga mantra. Sesekali jari tangannya meremas kemenyan dan meletakannya ke dalam serabut kelapa kering yang terbakar. Aroma asap kemenyan yang menyentuh hidungkku cukup membuatku sesak nafas, dan mampu membawa lamunanku kemasa silam. Masa dimana aku masih remaja, dimana aku masih sering membuat orang tua, terutama ibu menjadi jengkel,mangkel dan khawatir akan sikapku, dan masa dimana kebahagiaan itu masih lengkap kurasakan.
“Hey mang bangun sudah siang, jangan tidur di teras , saya mau mengeluarkan motor nih” bentak seorang bapak sambil menyepak-nyepak badanku yang masih tergeletak di teras tepat di depan pintu. Aku tersadar dari tidur lalu perlahan membuka mata, sambil menahan rasa ingin tertawa aku menarik selimut kumelku lalu kembali pura-pura tidur. Aku tahu bapak itu mulai jengkel, namun aku ingin tahu sampai di mana batas kesabaran dia.
“Hey mang ini bukan rumahmu, ini rumah orang , lagi pula ini sudah siang, atau saya akan laporkan sampeyan ke polisi karena masuk rumah orang lain tanpa ijin.” Suara bapak semakin keras dan sedikit gaduh, tidak berhenti di situ saja sambil terus ngomel bapak itu menarik kakiku dan melemparku keluar dari teras sampai membuat rambut gimbalku semakin acak-acakan dan tidak karuan. Mau tidak mau akhirnya aku bangun. Mungkin karena gaduh dan sedikit berisik akhirnya se isi rumah pada keluar.
“Ada apa sih pak, pagi-pagi sudah ribut, tidak enak didengar tetangga apa lagi ini bulan ramadhan” suara seorang perempuan terdengar dari dalam rumah.
“ Ini bu ada pengemis tidur di depan rumah kita, sudah bapak bangunkan baik-baik, tapi tetap tidak mau bangun” jawab bapak itu dengan kesal. Sejenak suasana menjadi hening dan sepi namun semua mata tertuju ke arahaku, tiba-tiba sebuah pekikan memecah keheningan.
“ Ya Allah, bapak kalo mengusir orang di lihat dulu ini kan si Udin anak kita” teriak ibu sambil menubruk kearahku. Akhirnya aku tak bisa menahan tertawa, begitu juga dengan adik-adiku yang dari tadi ikut berdiri. Sementara bapakku masih kelihatan sedikit mangkel dan bingung, ibu menangis sambil menggandengku masuk rumah.
Akhirnya semua berkumpul di dalam rumah , termasuk bapak yang katanya tadi hendak keluar. Ibu masih sesenggukan sementara adik-adikku masih pada nyengir.
“ Syukurlah din kamu bisa pulang, ibu dengar di TV banyak mahasiswa pada hilang.” Suara ibu memecah keheningan.
“Tapi kenapa rambutmu di biarin gondrong begini, brewokan lagi apa di jogja sudah tidak ada tukang cukur , ditamabah bajumu yang kumel dan dekil”.
Tambah ibu sambil mengusap air mata yang menetes di pipi.
“Bau lagi” kata adiku.
“Iya emang sudah berapa hari tidak mandi bang”ocha adikku yang ragil ikut nimbrung.
“Diam kamu, anak kecil tidak perlu ikut-ikutan” kataku sambil melotot kearah si ocha.
“Iya din sudah berapa hari kamu tidak mandi”? Tanya ibu dengan raut muka sedikit cemberut.
“ Baru 4 hari bu” jawabku sambil setengah tertawa
“Hey din, kamu itu seharusnya jadi contoh untuk adik-adikmu, pulang kerumah bukannya rapi malah kaya orang gila, tidak ada orang tua yang bangga dengan penampilanmu seperti ini” bapakku yang dari tadi diam ikut bicara, belum sempat aku menjawab adikku nyeletuk duluan.
“ Betul pak, untung adik-adiknya cewek semua jadi tidak mungkin niru bang udin, iiiih”
“Oh jadi semua tidak suka dengan penampilanku toh, kenapa aku tidak diberi kesempatan untuk menjelasakannya , bapak juga seharusnya bijaksana dong” kataku sedikit kesal.
“Sudah,sudah ayo bubar semua, kamu juga din ayo cepat mandi habis itu istirahat” kata ibu, akupun berdiri lalu belangkah menuju kamarku , baru 3 langkah tiba-tiba tanganku ditarik si ocha adikku.
“Eeeeeeit tunggu-tunggu, bang udin kamarnya sudah tidak di sana lagi, sekarang di sana sudah jadi kamar adinda, bang udin dipersilahkan di kamar belakang,sekian dan terimakasih, heheeh” kata si ragil sambil cengengesan.
“Beuuuuuu” kataku sambil menarik tanganku.
Canda tawa selalu menghiasi keluargaku. Apalagi ibu, aku merasa dengan kehadiranku kondisi ibu jadi semakin tegar. Selama ini ibu merasa tertekan karena ulah bapak yang memiliki dua istri. Aku tahu ibu selalu berusaha tetap tegar dan kuat akan tetapi sebagai anak yang paling besar aku juga mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Ibu ingin tahu berapa lama lagi kamu selesaikan kuliahmu di jogja din” Tanya ibu di suatu sore menjelang buka puasa .
“Ya tergantung bu” jawabku, sambil ikut merapikan gelas di meja.
“Tergantung bagaimana maksudmu din?” Tanya ibu penasaran.
“Ya kalau nilai ujiannya bagus terus bisa cepat bu”jawabku.
“Terus selama ini nilaimu bagaimana” Tanya ibu lagi.
“ Sedikit bagus bu” jawabku sambil nyengir.
“Apakah itu artinya kamu bisa cepat selesai” kata ibu.
“Don’t worry mom and I swear, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dan dalam waktu yang seksama akan udin persembahkan ijazah S1 udin untuk ibu tercinta” kataku sedikit bercanda.sementara ibu hanya tertawa kecil mendengar ucapanku.
Suasana buka puasa begitu hangat kurasakan, bunyi denting sendok dan piring serta suara air yang di tuang kedalam gelas seakan menjadi irama yang mengiringi kebersamaan dan kebahagian keluargaku. Sudah dua kali ramadhan aku tidak berkumpul bersama keluarga. Aku bisa melihat dan merasakan kebahagian dan kegembiraan pada wajah adik-adik dan ibu. Sementara pada diri bapak, entahlah susah diprediksi wajah yang dingin jarang senyum dan terkesan pemarah, mungkin itu yang membuat anak-anaknya segan atau lebih tepatnya takut sama bapak.
“Din berapa lama lagi kamu menyelesaikan study mu di jogja” Tanya bapak di sela buka puasa kami.
“Ibu juga tadi bertanya hal yang sama, coba saja tanyakan sama ibu.” jawabku sambil sibuk menyantap makanan yang tersisa di meja.
“Bapak ini bertanya sama kamu bukan sama ibu, jadi yang harus jawab kamu, ngerti.” Kata bapak sambil sedikit melotot.
“Iya din, tidak ada susahnya kalau pertanyaan bapak itu di jawab.” Kata ibu sambil menatap kearahku. Sementara aku masih sibuk menghabiskan makanan yang masih tersisa, seolah tidak mendengar apa yang ibu katakan.
“Ditanya sama orang tua malah diam saja, apa kamu sudah tidak punya telinga din.” Kata bapakku lagi dengan suara yang agak keras.
“Bukan begitu pak, bapak kan tahu sendiri saya sedang menelan makanan, sabar sedikit kan tidak rugi toh pak.” Ucapku dengan nada yang sedikit keras juga.
Sejenak suasana sepi dan sedikit tegang, hanya sesekali ibu menyuruh adikku untuk membereskan perabot dan sisa makannan yang masih tersisa.
“Jadi begini pak” ucapku memecah suasana yang sedikit tegang. Lalu aku menjelaskan panjang lebar perihal kuliahku, penjelasanku ke bapak lebih lengkap dan lebih detail daripada penjelasanku pada ibu. Tidak lupa aku juga menjelasakan penggunaan keuanagn yang telah bapak berikan sama aku.
“Begini din, maksud bapak kalau nilai kamu baik lalu S1 mu rampung dengan waktu yang relatip singkat, bapak siap dan masih mampu untuk menyekolahkan kamu ketingkat selanjutnya”. Kata bapak setelah mendengar penjelasanku. Sejenak aku hanya bisa diam. Pikiranku selalu tertuju pada wanita tua yang duduk di sebalahku , yaitu ibuku. Aku mengerti maksud ucapan bapak. Ucapan bapak berhubungan dengan pekerjaannya sebagai PNS, yang kurang dari 5 tahun lagi akan pensiun. Hatiku mulai mendua. Kalau aku meneruskan kuliahku ke tingkat selanjutnya artinya aku akan semakin lama jauh dari ibu. Sementara, walaupun tidak terucap ibu menginginkan aku agar cepat berada di rumah.
“Tapi semua terserah kamu din, keputusan ada di tangan kamu. Bapak tidak bisa memaksamu lagi, sekarang kamu sudah dewasa.” Tambah bapak.
“Iya pak, apa yang akan saya katakan bukan berarti saya menolak komitment bapak , saya senang sekali mendengar hal seperti itu, setiap anak pasti menginginkan hal yang sama dari orang tuanya terutama bapaknya.” Kataku.
“Tapi saya bukan anak bapak satu satunya, bapak masih punya dua anak perempuan lagi dari ibu, yang mungkin akan banyak membutuhkan perhatian, di sisi lain saya satu satunya anak laki-laki bapak yang sudah dewasa, saya malu, terus menerus mendapat subsidi dari orang tua, sementara secara akal seharusnya saya sudah bisa mandiri, dan yang terakhir saya sudah terlalu lama jauh dari Ibu pak. ” Ucapanku terhenti karena aku menahan sesuatu dalam tenggorokanku yang menyebabkan mataku berkaca-kaca dan hidungku mulai meler. Dengan menahan rasa ingin menangis aku meneruskan kata-kataku.
“Ibu selama ini menderita pak, apakah bapak tidak mengerti hal itu, coba lihat wajah ibu, ibu lebih tua dari usianya, coba lihat keriput di mukanya yang mencerminkan kesusahan dan kesedihan, coba lihat setiap perubahan fisiknya, ini semua karena ulah bapak, bapak jangan merasa jadi pahlawan dengan mengangkat keluarga yang lain tapi menginjak keluarga yang lainnya” Aku sudah tidak bisa mengontrol emosi lagi, posisiku sudah tidak duduk di kursi tapi setengah berdiri dengan tangan sesekali menunjuk bapak dan menepuk pundak ibu yang tepat berada di sampingku.
“Sudah syamsudin, tidak baik ngomong begitu di depan bapakmu, itu bapakmu, bapak yang membesarkanmu, bapak yang membiayaimu, sudahlah nak eling.” Kata ibu sambil menangis lalu menarik badanku untuk duduk kembali.
“Bu, biarkan dia bicara, biarkan semua amarahnya keluar, biarkan semua unek-uneknya habis” Kata bapakku seolah tidak terpancing dengan amarahku.
“Ayolah bu, bilang terus terang sama bapak, kalau selama ini ibu sakit hati, ibu sedih dan ibu tidak bahagia karena ulah bapak.”. Kataku pada ibu
“Tidak din, ibu bahagia bersama kalian nak”. Kata ibu sambil terus menangis
“Tapi tidak bersama bapak kan bu?.” Ucapku lagi, namun tidak ada jawaban, semua terdiam.
Suasana menjadi hening hanya isak tangis ibu yang masih terdengar. Sementara bapak dengan santainya menyulut rokok, menghisapnya lalu menhghebuskannya ke atas, seolah tidak terjadi sesuatu .
“ Para bapak dan para ibu kaum muslimin dan muslimat, yang di rahmati Allah, waktu shalat maghrib akan segera habis. Segera ambil air wudhu dan segera shalat, atau saudara akan kehilangan tiket pesawat menuju sorga.” Teriakan adikku menyadarkan kami bertiga. Satu persatu kami berdiri, ketegangan dan suasana panas pun berakhir sampai disitu.
Semenjak kejadian itu, hubungan aku sama bapak menjadi dingin, walaupun demikian kami tetap saling tegur sapa seperti biasa. Begitu juga dengan ibu sepertinya dia tidak terpengaruh dengan peristiwa kemarin. Namun ada yang berbeda dengan sikap bapak, hampir satu minggu ini dia selalu buka bersama di rumah. Itulah yang aku ,ibu dan mungkin adik-adikku harapkan, ini pasti akan berdampak tidak bagus bagi keluarga bapak dari istrinya yang kedua. Namun aku tidak peduli.
Selama ramadhan tahun ini, hari-hari aku habiskan bersama ibu, mulai dari bantu masak, menyiapkan makanan untuk buka puasa sampai cuci piring dan peralatan dapur lainnya. Tentunya yang merasa jadi raja adalah adikku karena selama ada aku di rumah dia tidak pernah bantu ibu.
“ Bang, ocha seneng banget abang ada di rumah.” Kata adikku di suatu pagi.
“Ialah cha abang juga seneng, bayangin hampir tiga tahun kita tidak bertemu, terakhir abang pergi, kamu baru masuk SMP.” Kataku sambil ku elus-elus kepalanya.
“Kalo ocha bukan karena itu bang.” Katanya lagi.
“Terus karena apa?.” Tanyaku penasaran.
“Karena ada yang menggantikan ocha cuci piring, nyapu , ngepel bantuin ibu masak dan lain-lain.” Jawabnya sambil nyengir.
“Beuuuu.” Teriakku sambil ku rusak tatanan poni rambutnya.
“Haduuuuh, ibuuuuuu bang udin nih, nganuin kepala ocha.” Teriak adikku, ibuku hanya tersenyum sambil terus menyirami bunga.
Tidak terasa,bulan ramadhan pun berlalu. Suara takbir dan bedug saling bersahutan dari setiap mushala dan mesjid pertanda tercapainya sebuah kemenangan. Keharuan dan kebahagian menyelimuti setiap keluarga. Semua saling mengaku salah.dan juga semua saling memberi maaf. Tidak terkecuali keluargaku.
“Bu maafin udin,seharusnya udin bisa sering pulang nengok ibu, paling tidak setahun sekali” Ucapku sambil aku peluk wanita yang pernah dengan susah payah mengandung dan melahirkanku, wanita yang mengajariku berjalan dan makan, wanita yang dengan sabar menungguku saat aku terbaring sakit karena demam dan panas, dan wanita yang selalu bersenandung merdu saat menjelang tidurku.
“Maafin semua kesalahan anakmu ini, seharusnya udin tidak sering membuat ibu khawatir.” Tambahku lagi
“Sama-sama nak, semua ibu maafkan yang sudah maupun yang belum terjadi, juga sebaliknya maafkan ibu ya, seharusnya ibu tidak ikut mengirimmu ke jogja. Ibu merasa bersalah, dengan jarak yang jauh ibu tidak bisa memberimu kasih sayang dan perhatian”. Kata ibu, sambil menangis, air matanya mengalir deras membasahi pipi yang mulai keriput. Sebagian air mata itu membasahi bajuku, sejenak aku merasa berada di suatu tempat yang begitu sejuk, tenang dan damai.
“ Jangan pergi lagi ya nak, tungguin ibu di sini, ibu takut.” Tambahnya lagi, setengah berbisik di telingaku. Kata-katanya tidak begitu jelas karena bercampur dengan isak tangis.
“Sudah gantian bang, ocha juga mau sungkem sama ibu.” Kata adikku,
“Iya bang, emangnya cuman bang udin saja anaknya ibu” Tambah kakanya. Perlahan aku lepaskan pelukan, aku tatap muka keriput itu dengan seksama lalu aku peluk kembali, seolah aku tidak peduli dengan adik-adikku.
“Udin janji setelah semuanya beres, akan segera kembali pulang.” Kataku, ibu hanya tersenyum dan mengangguk mendengarnya.
Peristiwa itu sudah berlalu lebih dari lima belas tahun. Sebelumya tidak ada yang tahu kalau ramadhan dan lebaran itu merupakan yang terakhir bersama ibu. Tidak lama setelah aku kembali ke Yogya dan tidak sempat aku persembahkan ijazahku, aku dapat kabar kalau ibu telah meninggal tanpa sakit lebih dulu. Sekarang aku hanya bisa duduk bersimpuh dan hanya bisa berdoa di makam ibu.
“Ya Allah yang maha pemberi ampun, ampunilah dosa-doa ibuku, sebagaimana dia selalu mengampuni semua kesalahanku. Ya Allah yang maha penyayang dan pengasih kasihanilah ibuku dan sayangilah dia sebagaimana dia menyayangi dan mengasihaniku waktu aku masih kecil. Jagalah dia sebagaimana dia menjagaku saatku tertidur lelap. Yaa Allah yang maha kuasa, terangilah alam kuburnya dengan cahayaMu, lapangkanlah alam kuburnya dengan kekuasaanMu.” Hanya selaksa doa itu yang bisa aku panjatkan, selebihnya aku menangis seperti anak kecil.
“Sudahlah din, ibumu pasti mendengar doamu, dan dia juga pasti bahagia punya anak seperti kamu”. Kata bapak yang dari tadi terus menemani aku. Suasana makam kembali sepi, istri dan anakku serta adik-adikku sudah pergi lebih dulu meninggalkan makam ibu. Hanya tinggal aku dan bapak yang masih berada di sana.
Asap kemenyan yang di bakar bapak masih terlihat mengepul keudara, walau tidak sebanyak beberapa menit yang lalu. Matahari semakin tinggi, gema takbir sayup-sayup masih terdengar. Hembusan angin menerpa pohon kamboja yang ada di pemakaman itu, sebagian bunga dan daunnya berjatuhan, sebagian lagi bergerak-gerak seakan melambai-lambaikan tangan melepas kepergianku dari tempat itu.
3 komentar:
mas yusuf ...dah aq baca cerpennyaa hehehe baus mas yusuf...emang setelah 15 tahun kemudian udinnya jadi apa tue mas yusuf hehehe??
SI UDINNYA JADI TUKANG DONAT...., ITU HANYA IMAJINASI AJA... MUNGKIN HANYA 10 PESENNYA AJA YG KISAH NYATA.
walo terlambat... aq ucapin selamat ya... kutunggu karyamu yg lain..
Posting Komentar